Oleh: Fadila A. Yusuf (Peserta Latihan Khusus Kohati HMI Cabang Palu Tahun 2025)
Dibalik dari katanya “Perempuan Karir” Dan senyuman Perempuan karir yang semangat, ada perjuangan panjang melawan Diskriminasi dan ketidak adilan yang dia rasakan, Kerja keras dan beberpotensi dalam bekerja serta loyalitas. Namun kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang masih menghadapi tembok-tembok tak kasat mata yaitu: gaji lebih rendah, peluang untuk dipromosikan kerja rasanya sulit, serta budaya kerja yang bias Gender.
Faktanya:
Badan pusat statistik (BPS) mencatat pada tahun 2023, dimana perempuan memperoleh rata-rata upah Rp. 16.779 per jam, sedangkan laki-laki Rp. 20.125 per jam. Artinya bahwa, terdapat selisih upah 16,6 % meskipun latar belakang pendidikan dan memiliki pengalaman kerja yang sama.
Laporan Good status 2024 pun menyebutkan bahwa kesenjangan upah gender di Indonesia semakin melebar, yaitu mencapai 17% tertinggi sejak tahun 2015. Dari data ini bisa kita lihat bahwa dalam dunia kerja masi masih menghargai jenis kelamin bukan kinerjanya.
“Perempuan dibayar lebih rendah bukan disebabkan karena tidak mampu. Mereka dibayar lebih rendah karena sistem yang masih Patriarkis” ujar prof. Poppy Ismail, Kepala UN Women di Indonesia.
Kisah nyata yang masih membudaya
Di berbagai Kantor, perempuan muda seringkali ditanya, “Kapan menikah? ” atau “kalau nanti punya anak, apa bisa kerja totalitas ? ” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seolah menjadi penilaian tersendiri yang dimana perempuan merasa dia di ragukan, bahkan sebelum diberi kesempatan.
Bahkan setelah mereka menikah dan memiliki anak, stigma “tidak bisa fokus”/” Tidak bisa produktif ” Terus membayangi. Ini sering dikenal sebagai motherhoid penalty, dimana perempuan diragukan secara karir karna statusnya sebagai seorang ibu.
- Dampaknya sangat nyata
Partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia stagnan di Angka 53%, jauh tertinggal dengan laki-laki mencapai 92%. - Hanya 21% perempuan yang menempati posisi manajerial, padahal perempuan menyumbang hampir 40% tenaga kerja Formal.
- Banyak perempuan yang mengundurkan diri dari pekerjaannya, bukan karena tidak mampu, tetapi karena lingkungan kerja yang tidak mendukung yg membuat mereka tidak bertahan.
“Kami tidak minta di Istimewakan. Kami hanya ingin kesempatan yang sama untuk membuktikan bahwa kami mampu”_Fadila A. Yusuf
Solusi nyata untuk perubahan nyata
Agar dunia kerja lebih adil dan inklusif, berikut langkah-langkah strategis yang perlu diterapkan:
- Adanya transparansi upah: Perusahaan harus terbuka persoalan gaji agar bisa terpantau.
- Fasilitas ramah gender: ruang laktasi, cuti melahirkan yang layak, dan jam kerja yang fleksibel sangat dibutuhkan.
- Memberikan pelatihan kesetaraan gender: untuk pimpinan dan manajemen agar tidak terjebak steorotip.
- Kebijakan promosi berbasis kinerja, bukan jenis kelamin atau status keluarga.
- Peningkatan akses perempuan ke posisi strategis, termasuk kuota 30% di jabatan manajerial sebagaimana direkomendasikan ILO.
Harapan dimasa depan
Jika sistem kerja bisa memberikan kesempatan yg adil bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, maka perempuan tidak hanya akan bertahan tapi juga berkontribusi lebih besar bagi kemajuan perusahaan dan Negara.
Perempuan bukan beban_mereka adalah aset berharga. Yang mereka butuhkan hanya ruang yang setara, agar potensi terbaik mereka bisa tumbuh.