Oleh: Muh. Idham Ruzaiman
Belum lama ini, pernyataan politikus senior Muhaimin Iskandar mengenai organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi perbincangan hangat. Ia mengisyaratkan bahwa proses kaderisasi HMI sudah tidak relevan dan cenderung elitis. Klaim ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai pemahaman kita terhadap sejarah panjang dan peran strategis organisasi mahasiswa dalam membentuk kepemimpinan bangsa.
Didirikan pada 5 Februari 1947, HMI adalah organisasi kemahasiswaan yang memiliki rekam jejak panjang dalam membina mahasiswa menjadi pemimpin yang berintegritas dan berpikiran kritis. Proses kaderisasinya bukan semata formalitas, melainkan serangkaian tahap pembentukan jati diri, mulai dari Latihan Kader I, II, hingga III, yang dilengkapi dengan forum diskusi, kerja sosial, dan pelibatan langsung dalam dinamika masyarakat.
HMI dikenal sebagai organisasi yang membuka ruang bagi siapa pun tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial untuk tumbuh secara bertahap. Di dalamnya, mahasiswa dibina untuk menyatu dengan realitas sosial, berpikir solutif, dan bertindak berdasarkan nilai keislaman dan keindonesiaan.
Sebagai organisasi terbuka dan independen, HMI tidak menyiapkan kader untuk satu partai atau kepentingan politik tertentu. Justru banyak tokoh nasional dari berbagai spektrum ideologis yang berasal dari rahim HMI. Beberapa di antaranya adalah Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, Anies Baswedan, dan Akbar Tanjung. Mereka adalah contoh keberhasilan kaderisasi jangka panjang yang tidak dibentuk secara instan.
Di tengah perubahan zaman, organisasi mahasiswa tentu menghadapi tantangan relevansi. Namun, menilai keberadaan HMI hanya dari sudut pandang politik elektoral adalah pendekatan yang sempit. Kaderisasi HMI bukan upaya membentuk elite eksklusif, melainkan proses membumikan nilai keislaman dan keindonesiaan dalam konteks kekinian.
Opini publik semestinya mendorong evaluasi konstruktif, bukan sekadar menegasikan. Kritik memang penting, tetapi harus disertai pemahaman mendalam atas konteks, nilai, dan proses yang berlangsung. Jika tidak, kita hanya akan memperkeruh ruang diskusi yang seharusnya produktif.
Menuju Indonesia Emas 2045, tantangan bangsa tidak hanya pada pembangunan fisik, tetapi juga pada ketersediaan sumber daya manusia yang tangguh secara intelektual dan moral. Dalam hal ini, organisasi seperti HMI memiliki peran strategis yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
HMI bukan lembaga karbitan pencetak elite instan. Ia adalah ruang penggemblengan gagasan dan karakter. Di sinilah proses from zero to hero bukan sekadar slogan, tetapi kenyataan yang terus dilahirkan dari generasi ke generasi.