Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

‎Mengurai Akar Krisis: Lonjakan Pernikahan Dini di Palu Pasca Bencana

49
×

‎Mengurai Akar Krisis: Lonjakan Pernikahan Dini di Palu Pasca Bencana

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Azizah (Peserta LKK HMI Cabang Palu berasal dari HMI Cabang Palu Komisariat MIPA UNTAD)

 

Example 300x600

‎Tingkat perkawinan anak usia 15–19 tahun di Palu mengalami peningkatan signifikan sejak bencana 2018. Fenomena ini tidak lagi sebatas masalah individu, tetapi tenggelam dalam persoalan sosial-ekonomi, budaya, dan pemulihan pasca-bencana.

‎Fenomena pernikahan dini di Palu pada 2025 menunjukkan tren peningkatan yang menjadi fokus kebijakan publik. Deklarasi dan pertemuan strategis baru-baru ini menandakan kemauan politik yang semakin konkret. Namun, keberlanjutan upaya ini akan sangat bergantung pada implementasi di tingkat akar rumput, termasuk kualitas edukasi, dukungan keluarga, dan kontrol sosial.

‎Ada keyakinan di masyarakat bahwa anak perempuan siap menikah lebih awal fungsinya dijodohkan untuk menghindari pergaulan bebas atau menjaga nama baik keluarga. Pandangan ini sering membuat orang tua lebih permisif terhadap anak perempuan dibanding anak laki-laki. Pendidikan yang terputus menjadi kendala bagi anak yang menikah dini, sehingga siklus kemiskinan terus berulang.

‎Dampak Negatif

  • ‎Kesehatan: Risiko kematian ibu, komplikasi kehamilan, serta stunting pada bayi meningkat.
  • ‎Pendidikan dan ekonomi: Anak berhenti sekolah dan kehilangan peluang kerja layak, memperkuat kemiskinan struktural.
  • ‎Psikososial: Pernikahan usia anak meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga, stres, dan gangguan jiwa karena tanggung jawab yang belum siap

‎Program BRUS dari Kemenag menjadi salah satu intervensi yang menjanjikan karena menyasar langsung remaja di sekolah melalui edukasi terarah. Namun, jumlah peserta masih terbatas masih diperlukan perluasan jangkauan dan intensifikasi materi yang relevan dengan problematika lokal.

‎Strategi daerah yang dirumuskan bersama, bila benar-benar bersifat operasional dan diintegrasikan ke layanan keluarga seperti Puspaga, layanan konseling, dan mediasi berbasis komunitas, akan mampu menjawab akar masalah seperti kemiskinan pasca-bencana, norma budaya nikah muda, dan minimnya pengawasan keluarga.

‎Kenaikan angka pernikahan anak dari 8,91% ke 9,05% di Sulteng menyoroti urgensi penambahan intervensi di wilayah yang paling terdampak, termasuk Palu. Selain itu, penekanan pada layanan gratis pendidikan dan kesehatan yang didorong DPRD dapat menjadi “jalan keluar” tekanan ekonomi yang sering menjadi alasan utama keluarga mendukung nikah dini.

‎Dalam kerangka Islam sendiri, khususnya dengan prinsip maqāṣid alsharīʿah, pernikahan perlu menekankan pemenuhan kemaslahatan (manfaat) dan menghindarkan mafsadah (kerugian), termasuk bagi anak yang belum matang secara fisik, mental, dan ekonomi. Oleh karena itu, saya merekomendasikan agar program edukasi remaja seperti BRUS (Bimbingan Remaja Usia Sekolah) yang dilakukan Kemenag diperkaya dengan muatan syariah, menanamkan pemahaman bahwa usia matang lahir dan batin adalah prasyarat pernikahan yang sah dan ideal berdasarkan syariat dan maqāṣid.

Penguatan pendekatan agama juga penting: melalui fatwa MUI yang menegaskan bahwa pernikahan anak yang merugikan adalah haram, serta penyampaian pesan ini oleh tokoh agama dan ulama perempuan di masjid, pengajian, dan pengajian ibu/keluarga untuk meresap ke akar budaya . Selain itu, pendekatan konseling keluarga berbasis syariat melibatkan guru agama, penyuluh agama, dan tokoh adat perlu dikembangkan guna menyadarkan orang tua tentang tanggung jawab menjaga kemaslahatan anak, bukan sekadar memenuhi adat atau tekanan budaya. Dengan demikian, kombinasi antara edukasi reproduksi, pemahaman maqāṣid, pendampingan keluarga, dan fatwa yang kontekstual dapat membentuk kontrol sosial Islam yang efektif dalam mencegah pernikahan dini di Palu.

‎Kasus pernikahan dini di Palu masih menjadi persoalan struktural yang ditopang oleh budaya, kemiskinan, dan dampak pasca-bencana. Kendala regulasi, praktik dispensasi, dan kurangnya akses edukasi memperburuk situasi. Meskipun sejumlah program edukasi, kampanye, dan kolaborasi sudah berjalan, implementasi di tingkat akar rumput masih terbatas. Solusi jangka panjang harus bersifat holistik: pergantungan ekonomi, budaya patriarki, lemahnya regulasi, dan minimnya pendidikan reproduksi perlu diselesaikan secara bersamaan. Dengan pendekatan ini berbasis data, komprehensif, dan budaya sensitif Palu berpotensi menurunkan angka pernikahan anak sekaligus memampukan generasi muda tumbuh dengan hak yang utuh.

1. Penguatan Lembaga Edukasi Reproduksi Berbasis Agama & Lokal

  • Perluas cakupan BRUS – data terbaru menunjukkan penurunan jumlah pasangan anak di Indonesia dari 8.804 (2022) menjadi 4.150 (2024), berkat BRUS Di Palu, tambahkan modul syariah (maqāṣid) dan prinsip fatwa MUI, menekankan kesiapan lahir-batin.
  • Libatkan ulama perempuan dan tokoh adat dalam dialog komunitas – agar pesan tentang haramnya kawin anak menyentuh norma budaya lebih dalam.

2. Penguatan Layanan Keluarga Berbasis Komunitas

  • Integrasi strategi daerah ke Puspaga, layanan konseling dan mediasi berbasis desa/kelurahan – terutama bagi keluarga miskin pasca‑bencana.
  • Layanan mobile outreach untuk wilayah rural; mengingat sebagian besar anak di Sulteng tinggal di pedesaan dan rentan ekonomi rendah ⁠

3. Reformasi Regulasi & Pengawasan Dispensasi

  • Perketat prosedur dispensasi usia nikah di KUA/PA dengan melibatkan tim penilai dari tokoh agama, tenaga kesejahteraan sosial, dan kesehatan.
  • Bangun sistem monitoring lokal supaya dispensasi tidak lagi mencerminkan norma sosial permisif tetapi keputusan berbasis kesiapan anak.

‎Palu, 15 Juli 2025

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *