ElaborasiNews.com – Lombok Utara, NTB – Pada pagi yang tenang di Gili Trawangan, 16 April 2025, tubuh Brigadir Muhammad Nurhadi ditemukan mengambang tak bernyawa di kolam renang sebuah vila mewah.
Awalnya, kabar resmi dari kepolisian menyebutkan bahwa korban tewas akibat kecelakaan. Namun, rentetan kejanggalan yang terkuak dari lapangan justru menyingkap tabir kelam, dugaan kekerasan yang berujung kematian dan lebih mencengangkan lagi, pelakunya adalah sesama aparat.
Jejak Awal: Tubuh Penuh Luka, Versi Resmi Tak Meyakinkan
Penyelidikan ini bermula dari laporan pihak keluarga yang menolak versi “kematian wajar”. Saat jenazah Nurhadi tiba di rumah duka, keluarga terkejut menemukan lebam di wajah dan dada korban. “Ini bukan orang tenggelam, ini seperti orang dipukuli,” kata seorang kerabat yang menolak disebutkan namanya.
Kecurigaan itu memicu permintaan ekshumasi. Pada 1 Mei 2025, Polda NTB akhirnya membongkar makam Nurhadi. Hasil otopsi menunjukkan luka benturan tumpul yang tidak konsisten dengan kematian karena tenggelam.
Tiga Nama Muncul, Dua Berpangkat Perwira
Investigasi yang awalnya lamban mulai bergerak setelah tekanan publik. Dua nama mencuat sebagai tersangka: Kompol Yogi Yustisia Kurniawan, Kasubbid Paminal Propam Polda NTB, dan Ipda Aris Chandra. Keduanya merupakan atasan dan rekan korban di unit pengamanan internal kepolisian.
Satu tersangka sipil juga muncul perempuan berinisial M, disebut-sebut memiliki kedekatan personal dengan salah satu tersangka.
Malam Tragis di Vila: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Berdasarkan hasil penelusuran tim investigasi dan informasi, malam sebelum kematian Nurhadi berlangsung pesta tertutup di vila tempat kejadian. Nurhadi diduga terlibat cekcok dengan salah satu perwira terkait urusan internal yang belum diungkap ke publik. Dalam situasi memanas itu, Nurhadi diduga dianiaya secara brutal hingga tak sadarkan diri.
Etika Dilanggar, Penahanan Diundur
Polda NTB akhirnya menjatuhkan pemecatan tidak hormat kepada dua perwira tersebut pada 27 Mei 2025. Namun yang mengundang tanya, hingga awal Juli, keduanya belum ditahan. Alasan resmi dari penyidik, mereka belum mengakui perbuatannya dan masih dalam proses pelengkapan berkas.
Langkah ini menimbulkan reaksi keras. Aliansi Reformasi Polri menuding adanya perlakuan istimewa dan potensi obstruction of justice. “Kalau tersangkanya sipil, pasti sudah ditahan dari hari pertama. Ini bukti bahwa hukum belum sepenuhnya setara,” ujar Koordinator Aliansi, Andi Sumarsono.
Titik Gelap: Apa Motif Sebenarnya?
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi soal motif di balik penganiayaan tersebut. Namun sejumlah informasi menyebutkan bahwa Nurhadi tengah mengusut pelanggaran etik di lingkup internal, termasuk dugaan penyalahgunaan wewenang oleh atasannya. Bisa jadi, inilah pemicu kemarahan yang berujung tragis.
Penutup: Kematian yang Membuka Luka Lama
Kematian Brigadir Nurhadi bukan hanya soal satu nyawa yang hilang. Ia membuka luka lama tentang solidaritas semu di tubuh institusi yang seharusnya menjamin keadilan. Ketika hukum bisa diatur berdasarkan pangkat, maka publik patut bertanya siapa yang akan melindungi mereka dari pelindung itu sendiri?